TEMPO.CO, Jakarta - Kapal laut Dorolonda melaju perlahan meninggalkan pelabuhan Yos Sudarso Ambon. Dorolonda bergerak dengan kecepatan 30 km per jam menuju Pelabuhan Laut Namlea. Sekitar empat ribu orang melakukan perjalanan dengan kapal ini.
Perjalan pertama kali saya dengan kapal laut dimulai dengan bising pedagang menjajakan barang dagangannya di dalam kapal. Mulai dari bantal, makanan ringan hingga berat, minyak kayu putih, kopi. Ada juga orang-orang yang sibuk berdesakan mencari nomor tempat tidur sesuai tiket dan buruh angkut barang yang membawa koper dan kardus di pundak.
Belum arus mudik saat itu, tetapi penumpang kapal Dorolonda yang berangkat 15 April 2022 lumayan sibuk dipadati orang-orang. Geladak kapal 4 nomor 4343 menjadi tempat istirahat saya selama 4 hari perjalanan di atas laut. Di depan saya ada empat orang pria berasal dari Palu dan Sulawesi menyapa kedatangan saya, mereka adalah penumpang lama. Empat pria itu berbicara dengan logat Sulawesi yang kental—entah apa yang dibicarakan. Tujuan mereka adalah pelabuhan Namlea, mereka penambang yang mencari peruntungan di Gunung Botak.
Dua tempat tidur di kanan saya ditempati sebuah keluarga seorang perempuan, ibu dan dua anaknya. Yang paling kecil berumur tujuh bulan, dia mudah tersenyum namanya Gina. Saya sering mengajaknya bermain atau sekadar menggodanya. Sedangkan Fahri adalah kakak dari Gina, dia duduk di bangku salah satu Sekolah Dasar di Seram. Saya suka membagi jajanan ringan dengan Fahri.
Sedangkan di kiri saya ada mas-mas dari Ternate—sebut saja Darman—hendak pulang kampung ke Solo. Saya cepat akrab dengan dia, mungkin karena tujuan perjalanan kami sama yaitu Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Darman adalah orang asli Solo yang merantau ke Ternate untuk berdagang ia hendak pulang menengok keluarganya.
Siang itu, setelah kapal menyalakan mesin dan berangkat. Iwan—salah satu dari empat orang penambang—nyeletuk "Yola jangan kaget kalau nanti ada dua orang yang sembunyi di bawah (bawah tempat tidur)," kata dia sambil tersenyum. Saya mengerutkan dahi masih belum paham. "Kita ini bukan tidak ada uang, tapi pemerintah mempersulit masyarakat kecil dengan peraturan vaksin" kata dia.
Kemudian saya paham, bahwa Iwan adalah penumpang ilegal di kapal. Benar, tak lama setelah pengumuman pemeriksaan tiket Iwan dan satu rekannya langsung masuk ke bawah ranjang yang sebenarnya digunakan untuk penyimpanan barang. Aksi sembunyi mereka memantik tawa kami.
Di tengah perjalanan, karena bosan saya naik ke dek paling atas. Saat keluar saya bertemu seorang laki-laki—Juan—yang berangkat dari Ternate. Ia hendak pulang ke Indramayu, Jawa Barat, sama seperti Darman Juan juga perantau yang bekerja di tambang nikel. Ketika itu kapal melewati deretan gunung hijau yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Lantas saya bertanya apa nama daratan itu, kata Juan itu Pulau Buru. Saya teringat cerita Iwan ketika ia pernah menambang di pulau tersebut.